Potensi Konflik Agraria Papua Pasca Penerapan DOB

foto: Emanuel Gobay, SH, MH.


𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗵𝘂𝗹𝘂𝗮𝗻


Penyelundupan kebijakan pemekaran daerah otonom baru (DOB) dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2021 telah menunjukan dampak buruknya di sektor agraria sebagaimana terjadi di Wamena dalam kasus pro kontra penempatan lokasi kantor gubernur Papua Pegunungan dan kasus konflik horizontal antara suku Lani dan suku Mee di Topo, distrik Uwapa, kabupaten Nabire, provinsi Papua Tengah, akibat transaksi tanah adat secara serampangan oleh orang bukan pemilik tanah adat.


Kedua konflik agraria itu merupakan kasus awal pasca pemekaran DOB terjadi. Berdasarkan subjek hukum yang terlibat dalam konflik agraria tersebut melibatkan masyarakat adat dengan pemerintah dan masyarakat adat dengan masyarakat adat Papua. Pada prinsipnya kedepan akan banyak terjadi kasus serupa yang lebih besar dengan melibatkan pemerintah dengan perusahaan yang akan berkonflik dengan masyarakat adat pemilik tanah adat.


Konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat berhadapan dengan pemerintah dengan perusahaan itu dapat disampaikan berdasarkan kepentingan ekonomi politik pengolahan SDA Papua yang telah terprogram dalam beberapa program seperti : 1) Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2009, dan 2) Proyek Strategis Nasional (PSN) 2014 yang di dalamnya telah dilakukan kontrak antara perusahaan dengan pemerintah tanpa sepengetahuan masyarakat adat.


Terlepas dengan kedua proyek besar yang telah dilakukan penandatanganan kontrak tanpa sepengetahuan masyarakat adat Papua itu, kemungkinan kedepan akan ada proyek kepentingan pendapatan asli daerah (PAD) provinsi dan kabupaten baru maupun lama yang tentunya akan dilakukan dalam beberapa waktu kedepan.


Di tengah kondisi nyata yang sedang menunjukkan fakta maupun ancaman konflik agraria di tanah air Papua, sudah harus dipikirkan sebuah alternatif kebijakan yang dapat mengatur perlindungan SDA Papua milik masyarakat adat Papua, proses pemanfaatan SDA Papua milik masyarakat adat Papua, serta penyelesaian persoalan konflik SDA Papua milik masyarakat adat agraria yang bermartabat.


1. 𝗣𝗲𝗿𝗹𝗶𝗻𝗱𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗦𝗗𝗔 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝗠𝗶𝗹𝗶𝗸 𝗠𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝗔𝗱𝗮𝘁 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮


Pada prinsipnya pengakuan eksistensi masyarakat adat Papua beserta hak-hak yang melekat bersama masyarakat adat Papua telah diatur dengan tegas pada Pasal 18b ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya dijamin dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta secara telah ditegaskan kembali dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.


Atas dasar hukum ini sudah seharusnya pemerintah daerah se-Tanah Papua khususnya Majelis Rakyat Papua (MRP) memfasilitasi masyarakat adat Papua melakukan pemetaan wilayah ulayat adatnya masing-masing beserta pendataan SDA Papua yang terdapat di wilayahnya mulai dari kayu, batuan, pasir, air sungai maupun danau beserta laut, emas, tambang, nikel, batu bara, minyak, gas, tanah, matahari, angin, karbon, satwa di laut dan darat, terumbu karang, dan lain sebagainya.


Mengingat misinya adalah perlindungan, sehingga dari berbagai SDA Papua yang disebutkan tadi wajib ada objek yang diprioritaskan untuk dilindungi. Objek yang wajib dilindungi dengan cara tidak harus diperjualbelikan adalah tanah dan air, karena di atas tanah dan air terbangun struktur marga yang bersumber dari totem-totem yang berevolusi membentuk marga-marga, dimana tanah dan air akan menjadi warisan hidup yang akan diturunkan dari tua marga ke anak marga dan hingga ke cucu dan cicit marga sepanjang marga masih digunakan oleh masyarakat adat Papua.


Setelah dilakukan pendataan semua jenis SDA Papua dengan prinsip perlindungan yang diprioritaskan kepada tanah dan air, selanjutnya dimasukkan ke dalam sebuah naskah akademik untuk dipersiapkan menjadi sebuah kebijakan daerah yang diusulkan kepada eksekutif dan legislatif untuk disahkan menjadi kebijakan daerah.


2. 𝗣𝗿𝗼𝘀𝗲𝘀 𝗣𝗲𝗺𝗮𝗻𝗳𝗮𝗮𝘁𝗮𝗻 𝗦𝗗𝗔 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝗠𝗶𝗹𝗶𝗸 𝗠𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝗔𝗱𝗮𝘁 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮


Pada prinsipnya dalam UU nomor 2 tahun 2021 telah mengatur kebijakan mekanisme kontrak antara pemerintah dengan pemilik modal wajib melibatkan masyarakat adat Papua pemilik SDA Papua. Selain itu, ada juga kebijakan pelibatan masyarakat adat Papua dalam musyawarah pemanfaatan tanah ulayat yang diatur dalam UU nomor 2 tahun 2021.


Berdasarkan dua kebijakan dalam UU nomor 2 tahun 2021 itu, maka sudah seharusnya pemerintah daerah se-Tanah Papua wajib membuat regulasi turunannya yang benar-benar akan memfasilitasi masyarakat adat Papua pemilik SDA Papua terlibat dalam pembahasan pemanfaatan SDA Papua.


Harapannya dalam regulasi tersebut wajib menjelaskan secara tegas apa peran serta hak dan kewajiban pemerintah sebagai fasilitator, selanjutnya menjelaskan hak dan kewajiban investor dan hak dan kewajiban masyarakat adat Papua sebagai pemilik SDA Papua. Di dalamnya juga menegaskan terkait bentuk-bentuk fasilitasi apakah seperti mediator, bipartit, tripartit atau konsiliasi sebagaimana diakui dalam aturan ketenagakerjaan dan arbitrase.


Hal ini bertujuan agar tidak ada lagi cerita pemerintah daerah yang berdiri seolah-olah sebagai masyarakat adat Papua pemilik SDA Papua yang sudah sering dilakukan sejak penandatanganan Kontrak Karya PT Freeport McMoRan Copper and Gold Inc pada tanggal 7 April 1967 sampai kini tahun 2023.


Semua usulan diatas bertujuan untuk menempatkan masyarakat adat Papua sebagai pemilik SDA Papua yang wajib dihargai, dihormati dan dimajukan oleh siapapun baik negara, pemerintah, perusahaan maupun masyarakat sipil yang beradi di atas wilayah adat Papua maupun yang akan datang ke wilayah adat Papua.


3. 𝗣𝗲𝗻𝘆𝗲𝗹𝗲𝘀𝗮𝗶𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝘀𝗼𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗞𝗼𝗻𝗳𝗹𝗶𝗸 𝗦𝗗𝗔 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮 𝗠𝗶𝗹𝗶𝗸 𝗠𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝗔𝗱𝗮𝘁 𝗣𝗮𝗽𝘂𝗮


Dengan melihat dua kasus konflik agraria di Wamena antara pemerintah dengan masyarakat adat dan kasus konflik agraria di Nabire antara masyarakat adat Lani dengan masyarakat adat Mee serta melihat banyaknya kasus pemberian izin kepada perusahaan tanpa sepengetahuan masyarakat adat Papua pemilik SDA Papua yang tentunya akan memicu terjadinya konflik agraria yang berujung pada pelanggaran HAM Berat sebagaimana dialami oleh masyarakat adat Wasior dalam kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah, maka dibutuhkan sebuah mekanisme penyelesaian persoalan konflik SDA Papua milik masyarakat adat Papua yang netral, jujur dan bermartabat.


Dalam konteks konflik sosial tentunya telah ada kebijakan penanganan konflik sosial. Selanjutnya dalam konteks hukum telah ada sistem peradilan pidana, sistem peradilan perdata dan sistem peradilan Tata Usaha Negara, dan bahkan ada sistem peradilan militer. Tetapi yang dimaksudkan di sini adalah khusus berkaitan dengan penyelesaian persoalan konflik SDA Papua milik Masyarakat Adat Papua.


Dalam rangka mengefektifkannya mungkin bisa menggunakan kebijakan peradilan adat yang diakui dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua. Dimana dalan prakteknya melibatkan para tokoh masyarakat adat Papua yang secara natural telah terbentuk karakternya sebagai tokoh penyelesai masalah yang diakui oleh masyarakat adat Papua di wilayah hukum adatnya masing-masing yang akan dikoneksikan dengan Dewan Adat Papua (yang tidak berafiliasi dengan pihak manapun), MRP utusan wilayah adat, DPR provinsi se-Tanah Papua dari kursi adat dimana keputusannya akan ditetapkan pada pengadilan negeri di wilayah hukum tempat terjadinya konflik SDA Papua milik masyarakat adat Papua.


𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗦𝗲𝗺𝗲𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮


Pada prinsipnya kasus Wamena dan Nabire merupakan fakta konflik SDA Papua pertama yang terjadi pasca penerapan DOB yang dipaksakan secara sentralistik.


Dengan melihat konstruksi kepemilikan SDA Papua secara adat yang sangat ketat dan terikat dengan totem-totem masyarakat adat Papua serta melihat praktek pemberian izin tanpa pelibatan masyarakat adat Papua yang sudah sedang dan akan dilakukan, maka tentunya kedepan akan terjadi konflik SDA yang hebat di wilayah tanah air adat Papua.


Atas dasar itu, maka perumusan kebijakan perlindungan SDA Papua, pemanfaatan SDA Papua dan penyelesaian persoalan konflik SDA Papua merupakan kebutuhan mendesak di tengah fakta mulai terlihat konflik perebutan SDA di Tanah Papua. Apabila ketiga usulan tadi tidak dilakukan, maka tentunya akan terjadi konflik agraria Papua yang berkepanjangan pasca penerapan kebijakan DOB secara sentralistik yang buta terhadap kondisi objektif Papua.


Jika usulan tersebut tidak ditindaklanjuti, maka yang dikhawatirkan akan terjadi konflik SDA Papua yang berujung pada terjadinya pelanggaran HAM Berat sebagaimana yang menimpa masyarakat adat Papua di Wasior yang kini dikenang dalam kasus pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah. 


Ditulis Oleh: Emanuel Gobay, SH, MH, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua di  Pengadilan Negeri Kelas 1A Jayapura, 6 Juni 2023.

Sumber: laolao-papua.com 

Post a Comment

Previous Post Next Post